Jumat, 24 Februari 2017

Potensi Persoalan Dana Desa Menurut KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil kajian tentang sistem pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa (DD), Jumat (12/6/2015). Kajian tersebut dilatari setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Menurut Priharsa Nugraha selaku Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK, pemberlakukan UU Desa berimplikasi pada disetujuinya anggaran dari sebesar Rp 20,7 triliun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Per April 2015, pemerintah telah menyalurkan dana desa tahap pertama untuk 63 kabupaten lebih dari Rp 898 miliar.
Kajian yang dilakukan sejak Januari 2015 tersebut, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni regulasi dan kelembagaan; tata laksana; pengawasan; dan sumber daya manusia.

A. Aspek regulasi dan kelembagaan

  1. Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa;
  2. Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri;
  3. Formula pembagian dana desa dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan;
  4. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP Nomor 43 tahun 2014 kurang berkeadilan; serta
  5. Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
Komisi anti rasuah juga menyoroti perubahan formula pembagian dana desa dari PP Nomor 60 Tahun 2015 menjadi PP Nomor 22 Tahun 2015. Pada Pasal 11 PP Nomor 60 Tahun 2014 formula penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota cukup transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Sementara, pada Pasal 11 PP No. 22 tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah desa, dengan bobot sebesar 90 persen dan hanya 10 persen yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.

B. Apek tata laksana

  1. Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa;
  2. Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) belum tersedia;
  3. Transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa masih rendah;
  4. Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi; serta
  5. APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.
Khusus untuk poin kelima, berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.
Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDesa untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau Desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) perdagangan cengkeh meski daerahnya minim infratruktur.

C. Aspek pengawasan

  1. Efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah;
  2. Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah;
  3. Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.
D. Aspek sumber daya manusia
Potensi persoalan terletak pada tenaga pendamping yang dianggap berpotensi melakukan korupsi memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal ini berkaca pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan, dimana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.

0 komentar:

Posting Komentar